Dulu kata ayahku,
berbuat baik itu tidak perlu banyak berpikir. Nanti hilang ketulusannya. Kini
aku mencintai juga tidak pernah bisa menemukan rangkaian kata yang
tepat untuk menjelaskannya.
Sebelum ini, aku
tidak pernah tahu artinya mencintai tanpa alasan. Sampai aku bertemu dengan kamu. Kamu mengajarkanku segalanya, menembus batas-batas angkuhku sebagai
wanita. Membuatku lebih berani jujur pada diriku sendiri.
Dulu, aku begitu
mengagumi sahabatmu. Dia kharismatik, easy going dan
pintar. Aku merasa bahwa kami cocok. Sering pergi berdua, sama-sama populer,
teman-teman juga bilang kalau kami sama-sama tampan dan cantik.
Namun kami
terjebak pada suasana ini. Terlalu nyaman dalam zona teman, dia pun tak ada
inisiatif. Dia seolah memberi harapan dengan banyak memberikan kebaikan dan
perhatian. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan kejelasan.
Sementara aku
terus menjaga imageku sebagai wanita. Aku merasa menjadi pihak yang harus
diperjuangkan. Lalu dia mulai berubah dan sedikit menjaga jarak. Aku sedikit
kesal dan menceritakannya padamu.
"Kenapa tidak
kau katakan saja perasaanmu padanya?" tanyamu.
"Aku
perempuan," jawabku menekankan.
"Lalu?"
tanyamu lagi.
Pertanyaanmu membuntukan pikiranku hingga aku berpikir bahwa dia tidak mengerti aku. Tapi ia
segera menjelaskan, "coba kau ambil sebuah kertas, ambil bolpoin dan
jelaskan kenapa kau menyayangi ayahmu dalam satu kata."
Mendengar hal itu,
aku berpikir, "Nggak nyambung," jawabku. Lantas aku
meninggalkannya dengan wajah yang masam.
Namun di malam
harinya, aku mencoba apa yang kamu katakan. Kuambil kertas dan coba
kugambarkan perasaanku dalam satu kata. Aku menyayangi ayahku karena...
Karena...
Baiklah, aku tak
bisa mengatakan aku menyayanginya karena ia adalah tulang punggung keluarga.
Itu lebih dari satu kata. Kucoba berpikir keras menemukan jawabannya, namun tak
juga kutemukan kata-kata yang pas.
Tanpa sadar,
kutuliskan sebuah kata. CINTA.
Keesokan harinya,
kutunjukkan tulisan itu padamu. lalu kamu tersenyum dan berkata, "Kau benar. Ini jawabannya."
Aku memandangimu masih tidak mengerti. Kemudian kamu berkata, "Cinta itu tidak logis.
Tidak butuh alasan. Jadi kalau kau suka padanya, utarakan saja. Bukan karena
kau adalah perempuan, maka kau membatasi diri. Nanti kau yang akan
menyesal."
Sebenarnya aku
masih kurang paham, tapi pada akhirnya, aku memang mengutarakan perasaanku padanya. Aku sudah tahu dia akan menerimaku. Namun entah mengapa, ada yang
mengganjal.
Sejak itu, aku
jarang melihatmu. Kalau aku bertanya padanya, dia bilang kamu sedang
konsentrasi untuk ujian akhir.
Ada rindu yang
menjalar di hatiku. Aku sangat senang setiap kali aku bisa bertemu denganmu,
walaupun itu hanya sebentar. Dia memang pria idamanku, tapi dia terlalu flat.
Kemesraan yang kubayangkan hanya angan-angan. Nyatanya dia adalah orang yang
jaim untuk menjadi romantis dan hangat.
Hubungan kami pun
berakhir hanya dalam 4 bulan. Aku tidak merasakan patah hati. Aku merasa
baik-baik saja. Namun tetap saja, aku merindukanmu.
Aku hampir
kehilangan sahabatku itu, andai aku tidak memberanikan diri bertanya padanya di
mana kamu berada. Kamu akan sekolah ke Australia dan bagaikan adegan film aku
mengejarnya ke airport. Kamu kaget melihatku.
"Kok kamu ada
di sini?" tanyamu.
"Kamu..kamu
kenapa tidak mengabariku... Kalau kamu mau ke luar negeri?" tanyaku
terengah-engah. Aku berlari mencari taksi dan berputar-putar mengelilingi
bandara agar bisa menemukanmu. Aku takut dia sudah pergi.
"Kenapa?" tanyamu, kamu seperti orang yang tidak percaya kalau aku ada di
situ.
Aku memegang
tanganmu dan berkata, "kau harus bertanggung jawab. Aku tidak bisa
berhenti memikirkan kata-katamu. Kau mengajariku jujur pada perasaanku, dan
kini aku menyadari bahwa..." aku berhenti sejenak sambil masih
terengah-engah.
"Bahwa apa?" tanyamu.
"..bahwa,"
aku makin tak tahan memandangnya. Serta merta aku memelukmu dan berkata,
"aku mencintaimu."
kamu terhenyak.
Aku tahu kamu terkejut, tapi aku bisa merasakan kalau kamu tidak menolak
pelukanku. Kamu justru memeluk aku kembali tanpa banyak bicara. Saat terdengar
pengumuman tentang keberangkatan pesawat, kamu berkata lirih, "Tunggu aku,
ya? Nanti kita berkirim e-mail. Jaga dirimu baik-baik."
akhirnya kamu pun berangkat
ke Australia.
Kalau aku selalu
terpekur dalam rasa jaim dan tidak belajar untuk jujur, mungkin aku tidak akan
bertemu denganmu. Cinta memang tak butuh alasan, tak bisa dijelaskan, tapi bisa
dituangkan dalam perbuatan. Aku tak pernah bertanya apa kamu mencintaiku dan
kenapa kamu mencintaiku. Tapi yang aku tahu, kamu tulus mencintaiku seperti aku
mencintaimu.
0 komentar:
Posting Komentar