Jumat, 15 Februari 2013

Cinta Tak Butuh Alasan

Diposting oleh Unknown di 16.12

Dulu kata ayahku, berbuat baik itu tidak perlu banyak berpikir. Nanti hilang ketulusannya. Kini aku mencintai juga tidak pernah bisa menemukan rangkaian kata yang tepat untuk menjelaskannya.
Sebelum ini, aku tidak pernah tahu artinya mencintai tanpa alasan. Sampai aku bertemu dengan kamu. Kamu mengajarkanku segalanya, menembus batas-batas angkuhku sebagai wanita. Membuatku lebih berani jujur pada diriku sendiri.
Dulu, aku begitu mengagumi sahabatmu. Dia kharismatik, easy going dan pintar. Aku merasa bahwa kami cocok. Sering pergi berdua, sama-sama populer, teman-teman juga bilang kalau kami sama-sama tampan dan cantik.
Namun kami terjebak pada suasana ini. Terlalu nyaman dalam zona teman, dia pun tak ada inisiatif. Dia seolah memberi harapan dengan banyak memberikan kebaikan dan perhatian. Sayangnya, hal ini tidak dibarengi dengan kejelasan.
Sementara aku terus menjaga imageku sebagai wanita. Aku merasa menjadi pihak yang harus diperjuangkan. Lalu dia mulai berubah dan sedikit menjaga jarak. Aku sedikit kesal dan menceritakannya padamu.
"Kenapa tidak kau katakan saja perasaanmu padanya?" tanyamu.
"Aku perempuan," jawabku menekankan.
"Lalu?" tanyamu lagi.
Pertanyaanmu membuntukan pikiranku hingga aku berpikir bahwa dia tidak mengerti aku. Tapi ia segera menjelaskan, "coba kau ambil sebuah kertas, ambil bolpoin dan jelaskan kenapa kau menyayangi ayahmu dalam satu kata."
Mendengar hal itu, aku berpikir, "Nggak nyambung," jawabku. Lantas aku meninggalkannya dengan wajah yang masam.
Namun di malam harinya, aku mencoba apa yang kamu katakan. Kuambil kertas dan coba kugambarkan perasaanku dalam satu kata. Aku menyayangi ayahku karena... Karena...
Baiklah, aku tak bisa mengatakan aku menyayanginya karena ia adalah tulang punggung keluarga. Itu lebih dari satu kata. Kucoba berpikir keras menemukan jawabannya, namun tak juga kutemukan kata-kata yang pas.
Tanpa sadar, kutuliskan sebuah kata. CINTA.
Keesokan harinya, kutunjukkan tulisan itu padamu. lalu kamu tersenyum dan berkata, "Kau benar. Ini jawabannya."
Aku memandangimu masih tidak mengerti. Kemudian kamu berkata, "Cinta itu tidak logis. Tidak butuh alasan. Jadi kalau kau suka padanya, utarakan saja. Bukan karena kau adalah perempuan, maka kau membatasi diri. Nanti kau yang akan menyesal."
Sebenarnya aku masih kurang paham, tapi pada akhirnya, aku memang mengutarakan perasaanku padanya. Aku sudah tahu dia akan menerimaku. Namun entah mengapa, ada yang mengganjal.
Sejak itu, aku jarang melihatmu. Kalau aku bertanya padanya, dia bilang kamu sedang konsentrasi untuk ujian akhir.
Ada rindu yang menjalar di hatiku. Aku sangat senang setiap kali aku bisa bertemu denganmu, walaupun itu hanya sebentar. Dia memang pria idamanku, tapi dia terlalu flat. Kemesraan yang kubayangkan hanya angan-angan. Nyatanya dia adalah orang yang jaim untuk menjadi romantis dan hangat.
Hubungan kami pun berakhir hanya dalam 4 bulan. Aku tidak merasakan patah hati. Aku merasa baik-baik saja. Namun tetap saja, aku merindukanmu.
Aku hampir kehilangan sahabatku itu, andai aku tidak memberanikan diri bertanya padanya di mana kamu berada. Kamu akan sekolah ke Australia dan bagaikan adegan film aku mengejarnya ke airport. Kamu kaget melihatku.
"Kok kamu ada di sini?" tanyamu.
"Kamu..kamu kenapa tidak mengabariku... Kalau kamu mau ke luar negeri?" tanyaku terengah-engah. Aku berlari mencari taksi dan berputar-putar mengelilingi bandara agar bisa menemukanmu. Aku takut dia sudah pergi.
"Kenapa?" tanyamu, kamu seperti orang yang tidak percaya kalau aku ada di situ.
Aku memegang tanganmu dan berkata, "kau harus bertanggung jawab. Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-katamu. Kau mengajariku jujur pada perasaanku, dan kini aku menyadari bahwa..." aku berhenti sejenak sambil masih terengah-engah.
"Bahwa apa?" tanyamu.
"..bahwa," aku makin tak tahan memandangnya. Serta merta aku memelukmu dan berkata, "aku mencintaimu."
kamu terhenyak. Aku tahu kamu terkejut, tapi aku bisa merasakan kalau kamu tidak menolak pelukanku. Kamu justru memeluk aku kembali tanpa banyak bicara. Saat terdengar pengumuman tentang keberangkatan pesawat, kamu berkata lirih, "Tunggu aku, ya? Nanti kita berkirim e-mail. Jaga dirimu baik-baik."
akhirnya kamu pun berangkat ke Australia.
Kalau aku selalu terpekur dalam rasa jaim dan tidak belajar untuk jujur, mungkin aku tidak akan bertemu denganmu. Cinta memang tak butuh alasan, tak bisa dijelaskan, tapi bisa dituangkan dalam perbuatan. Aku tak pernah bertanya apa kamu mencintaiku dan kenapa kamu mencintaiku. Tapi yang aku tahu, kamu tulus mencintaiku seperti aku mencintaimu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Today's Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos